Indonesia Parlemen

Budiarto

Kabinet Soekarno yang tidak berumur panjang kemudian diganti dengan Kabinet Parlementer, kabinet ini dilantik pada tanggal 14 November 1945 dengan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri (meninggal di Swiss, April 1966 diakui sebagai Pahlawan Nasional), dengan merangkap jabatan sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

Karena gentingnya suasana di Jakarta akibat pendaratan-pendaratan pasukan Sekutu dan Nica (Belanda) di sana, maka Presiden dan Wakil Presiden serta pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta pada Januari 1946. Perdana Menteri Syahrir sendiri mendapat ancaman pembunuhan oleh kaki tangan Belanda tetapi gagal.

Kemudian dibenruklah Kabinet Parlementer Syahrir berturut-turut pada tanggal 29 Juni 1946 sebagai Kabinet Parlementer Syahrir II dan pada tanggal 2 Oktober 1946 sebagai Kabinet  Parlementer Syahrir III. Usaha kongkrit dari Kabinet Parlementer ini adalah mencari pengakuan de jure dan de facto di luar negeri, di samping mengkonsolidasi aparat Negara Republik Indonesia yang baru maka diletakkanlah oleh Kabinet ini dasar-dasar politik luar negeri bebas dan aktif.

Sikap Pemerintah terhadap Belanda adalah mencoba mencari penyelesaian sengketa dengan jalan damai melalui perundingan, hal ini menimbulkan pro dan kontra salah satunya pihak yang tidak setuju ialah Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka yang terkenal dengan minimum programnya 7 pasal, yang didalamnya disebutkan menolak perundingan tanpa pengakuan mutlak atas kedaulatan Republik Indonesia.

Indonesia Parlemen - Sutan Syahrir Perdana Menteri Indonesia Pertama dan Terakhir
Indonesia Parlemen - Sutan Syahrir Perdana Menteri Indonesia Pertama dan Terakhir

Buntut dari pertentangan ini adalah pada pertengahan tahun 1946 melahirkan beberapa tindakan kekerasan dari pihak Tan Malaka terhadap Pemerintah. Pertentangan antara Tan Malaka terhadap Pemerintah memuncak dan mengakibatkan diculiknya PM Syahrir pada tanggal 27 Juni 1946 oleh gerombolan yang dipimpin oleh mayor A.K Yusuf. Orang-orang yang ikut diculik selain Syahrir adalah Ir. Dermawan Mangunkusumo, Mayor Jendral Sudibyo, Dr. Sumito Joyohadikusumo dan beberapa pembesar yang lainnya ketika mereka berada di Solo. Dampak dari pencilikan tersebut maka Pkekuasaan negara diambil alih oleh Presiden yang menyerukan agar PM Syahrir dikenbalikan oleh penculik dan akhirnya Syahrir dilepaskan.

Suasana panas yang belum juga mereda yang hendak memaksa Presiden untuk menandatangani daftar menteri-menteri baru dan hal ini berarti bahwa Kabinet Syahrir harus dibubarkan. Usaha tersebut tidak berhasil dan berwujud suatu coup pada tanggal 3 Juli 1946 yang terkenal dengan nama peristiwa 3 Juli. Yang melakukan Pemaksaan ini adalah Panglima Divisi IX Daerah Istimewa Yogyakarta Mayor Jendral Sudarsono yang didukung pula oleh Tan Malaka, Iwa Kusuma, Sumantri SH., Subarjo S.H., Moh. Yamin S.H.

Mereka yang terlibat kemudian ditangkap dan ditawan dan selanjutnya diajukan ke pengadilan Mahkama Tentara Agung . Dr. Kusumaatmaja SH. Dan Moh Yamin di pengadilan mengadakan pembelaan politiknya yang kemudian diterbitkannya Sapta Darma. Mereka dijatuhi hujuman tetapi kemudian pada tanggal 17 Agustus 1948 tawanan-tawanan politik ini dibebaskan atas grasi Presiden.

Produk Lainnya

Belajar Bisnis Oriflame

Mas Arto -

Website ini tidak ada sangkut paut dengan Kanjeng Gusti Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono, hanya sebuah catatan acak tentang kekayaan negeri tercintaku Indonesia - Proud tobe an Indonesian.