Kalimantan Purba

Budiarto

Kebudayaan Dayak,
Tulisan di bawah ini tidak memaparkan tentang keadaan Pulau Kalimantan pada masa pra-sejarah secara mendetail tetapi hanya memberikan sedikit gambaran bahwa pulau ini pun sudah cukup lama dihuni oleh manusia modern. Keadaan cuaca yang selalu berubah dan topografi Pulau Kalimantan yang lembab, basah dan sedikit mengandung zat kapur ditambah lagi dengan perubahan lingkungan global seperti mencairnya es di wilayah kutub, naiknya permukaan laut semuanya menyulitkan proses identifikasi fosil-fosil serta menyulitkan penemuan- penemuan arkeologi yang berguna untuk menjawab keberadaan manusia dan budayanya di Pulau Kalimantan.

Banyak kalangan ilmuwan memperkirakan bahwa penduduk asli orang Indonesia itu adalah pithechantropus erectus yang juga digolongkan sebagai homo sapiens. Akan tetapi sayang, fosil-fosil tentang manusia purba yang telah berumur ratusan ribu tahun ini hanya ditemukan di Pulau Jawa saja. Sedangkan di pulaupulau lain tidak ditemukan fosil tersebut termasuk di Pulau Kalimantan. Penemuan dalam bidang arkeologi yang berbentuk fosil seperti diketemukan di Desa Trinil dan Mojokerto. Hal itu cukup untuk membuktikan bahwa manusia purba memang pernah wujud di Nusantara. Pengujiannya dengan memakai Karbon 35 (C-35) dan Karbon 14 (C-14) untuk mengetahui umur benda-benda purbakala yang sudah berumur jutaan tahun.

Fosil manusia purba yang tertua di Indonesia yaitu Pithecanthropus Mojokerto (670.000 tahun) dan Pithecanthropus Trinil (600.000 tahun) (Mees, 1967:2) yang ditemukan di Pulau Jawa. Kondisi Pulau Jawa yang kering dan tanah berkapur memungkinkan fosil dapat bereaksi dengan unsur alam ini sehingga dapat berubah bentuk menjadi batu dan bertahan. Bagaimana dengan Pulau Kalimantan yang dianggap sebagai pulau terbesar ketiga di dunia? Agak sukar menjawab pertanyaan ini karena sampai sekarang belum diketemukan fosil-fosil manusia purba seperti yang hidup di Pulau Jawa.

Dengan melihat kondisi geografis dan topografi bumi di Pulau Kalimantan, besar kemungkinan pulau yang sebesar ini pun pernah didiami oleh makhluk hidup sejenis manusia seperti yang diketemukan di Jawa. Kondisi alam Pulau Borneo yang berawa-rawa, basah, selalu beriklim panas, dan hujan ada kemungkinan sukar bagi fosil-fosil purba untuk bertahan. Jika pun mampu bertahan terhadap iklim dan kondisi lingkungan namun mungkin terbenam jauh di dalam rawa-rawa, sehingga sukar untuk menemukannya.

Hal ini juga diungkapkan oleh King (1993:62) bahwa, “Because of the natural environment in Borneo with extensive swamplands and ever-wet dense tropical vegetation, there are problems in finding suitable archaeological sites”. Sampai sekarang pun Pulau Borneo masih tetap dianggap sebagai pulau yang misterius, belum tersentuh oleh kajian-kajian ilmiah yang representatif. Tidak heran jika Collins dalam Yusriadi & Hermansyah (2003) mengatakan bahwa Pulau Borneo sebagai Insula Incognita dan King (1993:41) mengatakan Pulau Kalimantan sebagai Terra Incognita terutama dalam perspektif ilmu arkeologi.

Sebelum kedatangan orang-orang Austronesia di Nusantara termasuk di Pulau Kalimantan, Pulau Kalimantan memang sudah dihuni oleh sekelompok suku bangsa yang belum diketahui identitasnya. King (1993:59) mengungkapkan “We have evidence of human habitation in Borneo going back at least 35,000 to 40,000 years, the Austronesian-speaking ancestors of today’s native populations of the island only began to settle there quite recently, probably 4,500 years ago.” Diperkirakan bangsa Negrito yang berpindah lebih dahulu ke Pulau Kalimantan dan pulaupulau lain di Nusantara sekitar 7000-6000 tahun sebelum Masehi dianggap sebagai suku bangsa yang pertama-tama menempati Pulau Kalimantan sebelum kedatangan suku bangsa Austronesia.

Setelah kedatangan suku bangsa Austronesia, diperkirakan ada percampuran dengan suku bangsa Negrito. Percampuran kedua ras inilah yang menurunkan penduduk asli Pulau Kalimantan sekarang ini. Hal yang cukup menonjol terhadap percampuran ini dapat dilihat dari tingginya tingkat keanekaragaman suku dan bahasa di Pulau Kalimantan termasuk bentuk fisik seperti warna kulit, rambut, dan tinggi badan.

Bukti-bukti arkeologi terkini yang ditemukan di Sabah dan Sarawak-Malaysia, dapat dijadikan patokan untuk melihat keadaan Pulau Kalimantan pada masa purba. Misalnya penemuan fosil tengkorak yang dianggap sebagai manusia modern (homo sapiens) oleh Tom Harrison di Gua Niah Gunung Subis dekat Miri- Sarawak. Umur tengkorak ini diperkirakan mempunyai rentang waktu antara 38,000 sampai 40,000 tahun. Penemuan ini masih diragukan oleh berbagai pihak, di antaranya Bellwood (1985:176). Akan tetapi, untuk sementara dapat dianggap sebagai penemuan spektakuler untuk menerangkan tentang Pulau Kalimantan pada masa itu. Ada juga penemuan kulit ari (sekam) di Gua Sireh oleh Harrison dan Solheim dengan bantuan Museum Sabah bertarikh 20,000 BP. Juga diketahui bahwa ada bukti tentang tempat tinggal manusia di Gua Madai dan Baturong sebelah Timur Sabah yang mempunyai rentangan waktu 15.000- 10.000 BP. Kemudian masih ada lagi berbagai penemuan tentang perpindahan manusia dan bukti-bukti adanya manusia di Gua Madai, yaitu di Agop Atas dan Agop Sarapad (lihat King, 1993:76-77 dan Bellwood, 1985:198).

Kedatangan orang Austronesia dari Asia Tenggara dikenal dengan istilah Proto- Melayu dan Deutro Melayu. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang etnografer, yaitu Sarasin bersaudara pada hampir seratus tahun yang lalu. Kemudian, istilah ini diperkuat lagi dengan pendapat Heine-Geldern (1932) dengan teorinya mengenai persebaran alat-alat kapak pada zaman neolitik.

Walaupun penemuan terkini dalam bidang arkeologi menentang teori kuno ini, namun istilah ini masih sering digunakan di kalangan sarjana di Indonesia untuk mengelompokkan penduduk sebagai Proto dan Deutero Melayu (lihat Collins, 1989). Dapat disebutkan bahwa bangsa Austronesia yang hijrah dari Asia Tenggara menetap di Pulau Formosa selama seribu tahun sekitar tahun 4000 BC, kemudian ke Filipina 3000 BC dan dari sini baru ke bagian utara Borneo 2.500 BC (lihat, King, 1993:77).

Para penulis terdahulu tentang Borneo, banyak melihat persamaan antara suku Dayak di Pulau Borneo dengan suku Indian-Amerika di Benua Amerika. Persamaan yang tampak di antara kedua suku bangsa tersebut berkaitan dengan keyakinan dan cara berperang. Franks S. Marryat yang tiba di Sarawak pada tanggal 8 Juli 1843 (lihat. King 1992:88) menulis bahwa, “The Dyaks are all very brave, and fight desperately, yelling during the combat like the American Indians”. Selanjutnya Gould (1909:5) menulis, “The Dayaks custom of head-hunting is founded on the same principal as that of scalp-hunting among the North-American Indians.” Persamaan dalam hal kenyakinan antara suku Dayak di Borneo dengan Indian Amerika juga dikemukakan oleh Marryat dalam King (1992:84) “The religious ideas of the Dyaks resemble those of the North American Indians; they acknowledge a Supreme Being, or “Great Spirit”. Di samping itu, cara hidup orang-orang Indian-Amerika dengan orang Dayak di Kalimantan juga mempunyai banyak kesamaan, mulai dari cara berpakaian, makanan, sampai pola pemukiman di wilayah terpencil yang tenang.

Dengan melihat sepintas lalu mengenai tradisi dan budaya yang dimiliki oleh kedua suku bangsa ini, perlu mempertimbangkan anggapan Marryat tersebut di atas, apakah mungkin kedua suku bangsa ini berasal dari nenek moyang yang sama? Hal senada juga dikatakan Daldjoeni (1991:165) yang menulis “Bangsa Indian pun berasal dari Benua Asia. Cara boyong mereka lewat Selat Bering yang pada masa itu masih mudah dilewati pulau-pulaunya tanpa bangsa yang bersangkutan ahli dalam pelayaran.” Selanjutnya Daldjoeni (1991:176) menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang paling dulu menyeberang Selat Bering adalah yang kemudian menurunkan bangsa Eskimo. Baru kemudian berbagai gelombang Mongoloid yang menurunkan berbagai suku Indian di Amerika. Pada masa yang sama, di daratan Asia, telah terjadi juga percampuran antara suku bangsa Kaukasus (Europaeide) dengan suku bangsa Mongol yang menurunkan suku bangsa Austronesia (lihat Soekmono, 1990). Dari kedua pendapat di atas semakin menguatkan anggapan bahwa asal usul suku bangsa Austronesia yang menurunkan suku Dayak di Pulau Kalimantan, bangsa Indian Amerika juga berasal dari Asia.

Benua Asia yang dipisahkan oleh jajaran gunung-gunung, di sepanjang Gunung Himalaya ke arah selatan menuju Asia Tenggara dan ke arah Timur menuju Negeri Cina, telah memisahkan kedua suku bangsa ini. Selanjutnya, terjadilah proses migrasi dalam arah yang berlawanan. Suku bangsa Indian menuju ke timur dan selanjutnya menyeberangi Selat Bering untuk mencapai Benua Amerika, sedangkan suku bangsa Austronesia menuju ke selatan dan kemudian lewat empat buah sungai besar yang mengalir di Asia Tenggara menuju kawasan Nusantara.


Produk Lainnya

Belajar Bisnis Oriflame

Mas Arto -

Website ini tidak ada sangkut paut dengan Kanjeng Gusti Sinuwun Sri Sultan Hamengkubuwono, hanya sebuah catatan acak tentang kekayaan negeri tercintaku Indonesia - Proud tobe an Indonesian.